NYAI RATU KIDUL Hanya Rekayasa Politik

NYAI RATU KIDUL Hanya Rekayasa Politik

Alhamdulillah. Buku sederhana ini dihadirkan untuk membuka cakrawala berpikir dengan mengedepankan akal sebagai anugerah Allah, yang terbukti bisa mengubah dunia, dari gelap menjadi terang. Upaya buku ini ditulis terutama bertujuan untuk mengimbangi maraknya tulisan mistik akhir-akhir ini, dan tayangan-tayangan mistik di televisi yang bisa mempengaruhi pikiran masyarakat ke arah irasionalisme. 

Nyai Ratu Kidul sebagai kepercayaan mistik Jawa, sosok penguasa lelembut yang selama ini dipuja. Tentu saja dari berbagai sudut pandang hal itu perlu dijernihkan duduk perkaranya. maka agar mudah dicerna dan dipahami, buku ini tidak ditulis dalam uraian yang teoritik dan panjang lebar. Mudah-mudahan dengan buku yang sederhana ini bisa membuka wacana berpikir yang lebih rasional, demi membangun peradaban dan martabat manusia Indonesia yang selama ini jauh tertinggal dalam hal sains dan teknologi dengan asing, akibat dari terlalu lama berkutat pada hal-hal yang tidak masuk akal (irrasional).  


(Surabaya, September 2004, ditulis oleh: Subagyo di Mulyosari).



PENDAHULUAN 

Nyai Ratu Kidul adalah kepercayaan yang masih sangat melekat pada pikiran masyarakat Jawa pada umumnya. Banyak muncul kisah-kisah dalam masyarakat pesisir Laut Selatan Jawa yang dihubunghubungkan dengan kekuasaan penguasa Laut Selatan itu. Bagaimanakah kisah Nyai Ratu Kidul? Apakah Nyai Ratu Kidul benar-benar ada?. 

Kepercayaan itu semakin lama mulai semakin ada yang berani membantah, setelah peradaban Jawa semakin berkembang. Hanya saja kontroversi itu pun rasanya sulit berakhir, sebab bahkan banyak kalangan intelek di Jawa yang juga penganut loyal mistik kejawen dan klenik. 

Sudah sangat lama kita mengalami proses berpikir tentang mistik kejawen yang akhirnya bisa kita simpulkan hanyalah sebagai sebuah paradigma Jawa kuno yang mengakibatkan stagnan perkembangan masyarakat. Pemujaan kepada roh-roh dan lelembut yang dilakukan oleh orang Jawa mengakibatkan terlalu banyaknya tempat yang dianggap keramat, menyita waktu dan biaya yang tidak sedikit, yang tidak mempunyai akibat positif terhadap produktivitas masyarakat sebab hanya membuang-buang waktu dan uang. Atau, masyarakat selalu berada dalam ketakutan untuk melakukan pekerjaan mereka secara bebas karena takut kutuk ini dan itu. Itulah gambaran masyarakat tradisional Jawa khususnya, dan di Asia-Afrika pada umumnya sampai saat ini, kalah jauh perkembangannya dengan dunia Barat yang rasional. 

Karena penganut mistik yang masih sangat luas di masyarakat, tidak heran jika perusahaan-perusahaan televisi memanfaatkannya dengan suguhan tayangan-tayangan mistik, muncul majalah-majalah dan tabloid mistik, dan hal itu memperoleh sambutan yang begitu luas dari masyarakat Indonesia. Sambutan itu bukan sekedar soal hiburan, tetapi juga karena kegemaran dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal mistik. 

Saya sebagai penulis buku ini merupakan orang Jawa tulen, lahir di sebuah Desa Banggle, di pedalaman Nganjuk yang di dalam dan sekelilingnya penuh dengan kepercayaan mistik yang tidak terbatas. Ibu dan ayah saya adalah orang kejawen tulen, secara formal beragama Islam. 

Pada waktu usia saya menginjak 5 tahun, kebetulan saya mulai suka ikut-ikutan tidur di sebuah langgar atau mushola yang dibangun oleh Modin di desa kami. Langgar itu dibangun sekitar jaman Gestapu. Jangan dibayangkan bahwa mushola atau langgar tersebut terkesan religius, sebab di dalamnya juga ada pembicaraan tentang rahasia isteri 3 para santrinya yang dipergunjingkan, atau pembicaraan perjudian yang menjadi kisah nyata atau kelakukan beberapa santri yang dijadikan bahan gurauan menjelang tidur, serta pembicaraan tentang kesaktian kyai ini dan kyai itu, jin di pondok pesantren mana dan mana, dan sebagainya. 

Saya masih ingat ketika suatu saat (masih usia SD) sengaja menghitung sandal saya yang hilang di langgar itu, dalam waktu satu bulan kehilangan enam pasang sandal. Dan hilangnya pasti pada waktu Maghrib, Isya’ dan Subuh. Karena seringnya kehilangan sandal, maka timbullah akal; kalau mau masuk langgar, sandal yang sebelah kiri saya lemparkan ke tempat gelap-gelap, sandal yang sebelah kanan saya sembunyikan di atas genting. Aman! 

Tetapi langgar tersebutlah yang menjadi salah satu faktor cikal-bakal keberanian saya untuk tidak tunduk pada perkara-perkara mistik dan tahayul, sebab dari tempat itu – meskipun tidak diajari tentang bagaimana melawan jin atau lelembut – diberikan dasar-dasar pemikiran agama bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia. Meskipun terdapat banyak kisah para santri tentang jin yang menjaga masjid, kyai yang beristeri jin dan sebagainya, tetapi setidak-tidaknya masih memunculkan wacana bahwa manusia bukanlah sub-ordinasi atau tidak terletak di bawah kaum lelembut. 

Pada sekitar umur 7 tahun saya mulai belajar ngaji di langgar tersebut, diajari oleh para santri senior dan guru ngaji (anak Modin waktu itu) yang sekarang menjadi pemuka agama di desa kami. Saya masih ingat bahwa kultur pembelajaran agama yang berlangsung adalah sistemnya Nahdlatul Ulama (NU) sebab memang kelihatannya guru ngaji saya tersebut adalah alumni pondok pesantren NU yang ada di daerah Nganjuk Selatan. Saya merasa hormat kepada guru ngaji kita yang bernama Abdul Haji tersebut. Bersama isterinya, yang juga sama-sama alumnus pondok pesantren, mengembangkan agama Islam di desa kami, dengan harus melawan secara halus tradisi mistik dan kejawen di desa kami. 

Sedikit demi sedikit perjuangannya membuahkan hasil, dengan semakin banyaknya generasi muda yang mau menjadi anggota langgar, meskipun tidak sesempurna yang diharapkan, sebab kadang-kadang tampak bahwa keislaman mereka hanyalah dalam ritualnya. Tradisi mistik kejawen belum bisa lepas sama sekali dari kehidupan mereka. Mereka masih loyal untuk mengadakan upacara-upacara mistik dalam kegiatan pertanian, perkawinan, khitanan, kelahiran dan sebagainya. 

Kebetulan saya sewaktu SD tinggal dengan bapak tiri saya yang merupakan salah satu “orang tua” yang sering dimintai tolong masyarakat di desa kami untuk hal-hal yang sifatnya mistik, seperti mencari hari baik untuk acara-acara ritual atau hajatan, mencari letak sumber air sumur, memberi mantera-mantera untuk orang sakit, untuk orang yang mempunyai hajatan, menjadi juru petik padi dan lain-lain yang sifatnya merupakan pekerjaan seorang “dukun desa” yang bersifat mistik. 

Masa kecil saya pun kenyang dengan makanan-makanan sesajen yang dibawa pulang oleh bapak saya itu, seperti ketan, ketupat, telor, pisang dan lain-lain. Dalam satu kali masa panen pun bapak saya bisa memperoleh rata-rata 10 kwintal gabah kering, pemberian dari orang-orang desa kami yang menggunakan jasa mistiknya dalam “methik” padi. 

Suatu saat saya pernah dilarang mengaji di langgar oleh orang tua saya sebab kelihatannya mereka tidak suka dengan ajaran Islam. Mereka melontarkan argumen bahwa sesungguhnya para santri itu hanya mencari kawan untuk melawan PKI. 

Rupa-rupanya orang tua saya itu mengamati kejadian masa Gestapu, dimana orang-orang Anshor (NU) membunuhi para anggota PKI. Bapak saya bahkan membuat ramalan bahwa kelak PKI akan kembali lagi dan menunutut balas kepada para santri. Nasehat dan argumen bapak saya tersebut tidak membuat tekad saya surut untuk mengaji. Pada waktu itu pikiran saya bisa membayangkan kejadian konfrontasi antara santri dengan PKI, dengan imajinasi para santri membawa pedang dan para PKI juga membawa pedang, lalu mereka bertarung dan para santri berhasil menang. Meskipun dikemudian hari (waktu mahasiswa) saya membaca kisah tersebut benar terjadi dari bukunya Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar jaman Orde Baru itu. Judulnya saya lupa. 

Kesalahan para santri terletak pada cara biadabnya dalam membunuhi para anggota PKI tanpa melalui Pengadilan. Para santri itu tidak menggunakan ajaran Islamnya dalam menghukumi orang PKI yang belum tentu bersalah tersebut. Orang-orang kecil di bawah, selalu menjadi korban pertikaiandi atas. Kehidupan beragama Islam di desa kami juga bercampur-aduk dengan mistik. Modin selalu bertugas sebagai pembaca doa dalam upacara-upacara perkawinan, nyadranan (bersih desa), slametan di kuburan Mbah Krapyak dan lain-lain yang juga mengandung acara-acara mistik. Jadi, dalam acara-acara seperti itu dilakukan doa dua versi, doa Islam dan doa mantera mistik. 

Kelihatannya memang fakta sinkretik; paganisme (pemberhalaan) berdampingan dengan Islam. Barangkali itu cara yang terpaksa ditempuh Modin sebab tidak mungkin ia mengecam syirik kepada masyarakat yang melingkari langgarnya. Jika itu dilakukan maka sudah pasti langgarnya akan dibakar masyarakat. Suatu saat, ada cerita mistik bahwa dahulu tetangga kami yang bernama Pak Jono diganggu oleh dhanyang desa kami yang bernama Mbah Krapyak. Mulut Pak Jono penceng konon gara-gara membuat perapian di lokasi kuburan Mbah Krapyak. Karena tidak percaya dengan cerita itu maka saya datang ke tempat keramat Mbah Krapyak dengan membawa celurit dan berteriak-teriak supaya Mbah Krapyak keluar. Karena Mbah Krapyak tidak keluar-keluar, maka saya membacoki pohon tua gowong yang biasanya dijadikan tempat membakar kemenyan dan tempat sesajen untuk Mbah Krapyak. Setelah kelelahan dan tidak bertemu Mbah Krapyak, maka saya pulang. 

Di kemudian hari sayapun menemukan jawaban bahwa Pak Jono yang asimetris tulang dan urat mulutnya itu adalah sebagai gejala dari sakit stroke yang memang pada waktu itu masih langka di desa kami. Sejak saya tidak bisa bertemu dengan Mbah Krapyak yang dipercaya penduduk desa kami sebagai dhanyang (penguasa lelembut) penjaga desa tersebut, saya semakin tidak takut dengan mitos-mitos tentang dhanyang dan sebagainya. 

Ketika perbuatan saya yang merusak tempat keramat Mbah Krapyak itu saya ceritakan kepada orang tua saya dan orang-orang lain, mereka tidak berkata apa-apa. Dengan bergurau mereka berkata, “Awas! Nanti malam kamu ditemui! Hati-hati!” Namun meskipun gurauan itu tak pernah menjadi kenyataan, praktik klenik dan mistik itu masih tetap berjalan. 

Sewaktu mahasiswa saya semakin jauh meninggalkan alam pikiran mistik, sebaliknya orang tua saya masih tetap setia kepada pekerjaannya sebagai praktisi mistik di desa. Sama seperti masa kecil dan remaja, saya masih sering nakal bereksperimen untuk melawan kepercayaan masyarakat terhadap penguasa lelembut. 

Pernah suatu saat saya bersama teman-teman pergi ke Pantai Selatan yang ada di pesisir Malang Selatan dan Popoh. Saya pun berteriak-teriak di tempat yang lebih tinggi untuk memanggil Nyai Ratu Kidul, agar ia sudi menemaniku bernyanyi. Tapi toh ia juga tidak muncul. Pernah juga ketika pergi ke air terjun Sedudo di Nganjuk, karena saking dinginnya maka perapian yang biasa digunakan untuk membakar kemenyan – setelah dukunnya pergi – saya gunakan untuk menghangatkan tubuh sambil berkata, “Mbah Sedudo, Sampeyan minggir dulu! apinya biar menghangatkan tubuhku!” 

Ketika saya berdarmawisata di Bali, ada larangan-larangan tertentu, misalnya tidak boleh memetik bunga ini atau itu, atau tidak boleh menyelempangkan selendang di leher. Tapi saya mencoba melanggarnya, ternyata tidak ada masalah apa-apa. Larangan tersebut sebenarnya bukan perkara mistik, tapi ada logikanya. (sayangnya saya lupa nama-nama tempat wisata yang pernah saya kunjungi sekitar tahun 1995 itu). 

Larangan sembarang memetik bunga adalah agar tidak terlalu banyak orang merusak keindahan tempat itu, sebab bunga itu akan lebih indah jika berada di pohonnya. Larangan menyelempangkan selendang di leher adalah karena di tempat itu banyak sekali kera yang bercampur dengan orang-orang. Suatu saat kera-kera itu bisa saja nakal dan menarik selendang sehingga jika selendang itu diselempangkan di leher akan mungkin menjerat leher si pembawa selendang itu. Saat ini, saya masih prihatin dengan kenyataan bahwa mistik dan klenik masih mendominasi pemikiran masyarakat Jawa. Bukan hanya di Jawa saja. Berdasarkan beberapa perjalanan yang saya lakukan ke Sumatera, Sulawesi dan Bali tersebut keadaannya sama saja. Bahkan di Jawa ini sekarang pemikiran mistik dan klenik mulai dikembangkan oleh beberapa intelektual penganut mistik. 

Keadaan itu ironis sekali dengan ajaran agama yang dianut masyarakat itu sendiri, yang memberikan pemahaman kepada manusia bahwa manusia itu makhluk berakal yang diberikan kedudukan sebagai khalifatullah di muka bumi. Yang lebih konyol lagi adalah dicampur-adukkannya soal mistik dan klenik tersebut dengan akidah. Diformulasikan, seolah-olah ritual memberi sesajen kepada lelembut adalah bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. 

Maka hal itu mengingatkan kita pada sebuah hadits yang melarang perbuatan mencampur-adukkan yang haq dan yang bathil. Artinya, sinkretisme dalam perspektif agama Islam jangan sampai merusak akidah dengan jalan menggabungkan atau menyandingkan lelembut dengan Allah, disamping tidak sebanding juga menyalahi filosofi penciptaan manusia yang lebih diunggulkan dibanding malaikat, apalagi dengan lelembut. Dalam persoalan inilah sesungguhnya kecerdasan pemikiran manusia diuji. Jika tak dapat menerangkan dengan argumentasi logis, setidak-tidaknya bisa diukur dengan empirisitas sejarah manusia. 

Asia yang telah lama berkutat dan mengandalkan mistik dan klenik toh tidak berkutik melawan kolonialisme Barat dan bahkan sampai sekarang dengan neo-kolonialisme. Alam pikiran klenik dan mistik Indonesia pun tak berdaya menghadang hegemoni ekonomi, politik dan kebudayaan Barat tersebut. Saat ini kita pun masih menjadi budak kapitalisme dunia,tanpa kita sadari. 

Jika seandainya mistik dan klenik bisa mengalahkan otak (teknologi) maka mungkin Belanda tidak akan bisa menginjakkan kaki di Indonesia sebab pelurunya ditangkapi oleh para lelembut yang dimintai bantuan pada pejuang penganut mistik. Tapi toh akhirnya yang bisa mengusir Belanda tidak ditentukan oleh mistik, klenik atau Nyai Ratu Kidul, melainkan perjuangan intelektual, terencana, terstruktur, serta diplomasi internasional yang rasional dan ulet. 

Itulah yang membuat kita tergerak untuk menyumbangkan pemikiran, urun rembug, agar masyarakat tidak berlarut-larut terjebak dalam alam pikiran yang menyesatkan dan menghambat pengembangan kreatifitas ke arah pembangunan. Saya bukan orang yang tak percaya keberadaan lelembut, tapi saya tidak mau dikuasai lelembut, apalagi sampai harus menunjukkan loyalitas dengan sesajen dan semacamnya. 


Berlanjut ke Bagian 1: =>  MUNCULNYA KISAH NYAI RATU KIDUL


--o0o--


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "NYAI RATU KIDUL Hanya Rekayasa Politik"

Posting Komentar